Text
Pemberian zakat perdagangan berdasarkan hasil kerja karyawan ditinjau dari fiqh zakat (studi kasus sentra kerajinan tenun ikat UD. Medali Mas Bandar Kidul)
Harta perdagangan adalah semua harta yang bisa dipindah untuk diperjualbelikan dan bisa mendatangkan keuntungan. Sedangkan yang dimaksud zakat perdagangan adalah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta yang diperuntukkan untuk diperjual belikan. Berdasarkan hasil ijma' ulama dan tabi'in setiap barang yang diperjual belikan harus dikeluarkan zakatnya. Hal ini merujuk pada firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 267, juga dikuatkan dengan hadits nabi bahwa setiap hal yang diperjualbelikan harus dizakati sama halnya seperti buah-buahan dan tanaman yang diperjualbelikan.
Dalam upaya pelaksanaan syariat itulah Ibu Siti Ruqoyyah selaku pemilik usaha dagang Sentra Kerajinan Tenun Ikat Medali Mas Bandar Kidul memberikan zakat hasil usaha dagangnya. Dalam praktek pemberian zakat umumnya para pemilik harta (muzakki) memberikannya pada masyarakat sekitar yang membutuhkan namun berbeda dengan Ibu Siti Ruqoyyah, ia memilih untuk membagikan sendiri zakatnya dan membagikannya pada karyawannya masing- masing. Hal ini dikarenakan setiap karyawan yang bekerja di industri tersebut dinilai tergolong dalam salah satu 8 golongan asnaf sehingga mereka berhak untuk menerima zakat (mustahiq). Selain itu juga zakat tersebut diberikan sesuai dengan hasil kerja karyawannya supaya pemberian zakat ini dapat menjadi motivasi tersendiri bagi karyawannya dalam bekerja.
Dalam pengeluarannya, zakat perdagangan atau zakat hasil usaha memiliki cara penghitungannya tersendiri. Yakni dengan menggabungkan seluruh harta kekayaan baik piutang maupun utang untuk kemudian dihitung besaran zakat yan harus dikeluarkan sesuai dengan kadar nishabnya yakni 2,5% dari jumlah harta Oleh karena itu, penelitian ini berfokus untuk mengetahui bagaimana pemberian zakat perdagangan Ibu Siti di Sentra Kerajinan Tenun Ikat UD. Medali Mas yang didasarkan pada hasil kerja karyawannya.
Penelitian ini bersifat kualitatif, dan jenis penelitian lapangan studi kasus Data primer yang digunakan dikumpulkan menggunakan teknik wawancara dan observasi, serta data sekunder yang berasal dari dokumentasi. Selanjutnya hasil penelitian tersebut dalam bentuk deskripsi sesuai dengan kerangka penelitian kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pemberian zakat hasil usaha dagang milik Ibu Siti Ruqoyyah yang diberikan sendiri kepada karyawannya hal ini tidak bertentangan dengan hukum islam, karena para karyawan tersebut masuk dalam kategori fakir miskin sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 267 dan Undang-undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat bahwa yang berhak mendapat zakat adalah fakir, miskin, amil, gharim, riqab, fi sabilillah, ibnu sabil dan muallaf.
Namun mengenai mustahiq atau karyawannya yang bertempat tinggal di luar daerah dimana zakat tersebut didapatkan (Bandar Kidul) termasuk dalam kategori pemindahan zakat dari daerahnya ke daerah yang lain. Berdasarkan kesepakatan ulama zakat harus diberikan di daerah dimana zakat tersebut didapatkan, hal ini sesuai kaidah umum yang mengatakan "zakat hendaknya dibagikan kepada seluruh kaum yang ada diantara mereka", berdasarkan hadits Muadz yaitu "ambillah zakat dari orang-orang kaya diantara mereka dan berikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka" sebagaimana dikisahkan antara Umar bin Khattab dengan Muadz bin Jabbar, ketika menjadi khalifah.
Oleh karenanya terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum memindahkan zakat dari satu daerah ke daerah yang lain. Imam syafi'i dan imam Hanafi tidak membolehkannya, kecuali jika memang di suatu wilayah tersebut sudah tidak ada orang berhak untuk menerimanya. Itupun zakatnya hanya boleh dibagikan ke daerah yang paling dekat dari daerah atau wilayah dimana zakat tersebut didapatkan yakni di Bandar Kidul, tempat usaha tersebut dijalankan. Atau diberikan dulu dari yang terdekat kemudian ke yang jauh.
Sedangkan imam Maliki dan imam Hanbali berpendapat bahwa pemberian zakat dibolehkan atau makruh tanzih, karena daerah-daerah tempat karyawan berdomisili tidak lebih dari jarak yang dibolehkan untuk mengqashar sholat, artinya masih kurang dari 89 km. Asalkan para karyawan tersebut masih tergolong orang yang fakir atau miskin.
Tidak tersedia versi lain