Text
Bahasa rezim : cermin bahasa dalam kekuasaan
Di era post-truth membicarakan bahasa mendapatkan tantangan baru karena fungsi bahasa menjadi tidak selalu sesuai dengan pakem-pakem bahasa, justru banyak berada di luar “keyakinan” yang selama ini digadang-gadang. Kita menghadapi kenyataan hidup yang dimulai dari dunia virtual-maya yang menjadikan kebenaran viral sebagai kiblat baru dalam membangun kebenaran virtual. Kadang-kadang kebenaran virtual tersebut berimbas pada kebenaran hidup kita di alam realitas-nyata. Alhasil, berbagai isu dan konflik bebas di media sosial berimplikasi pada relasi sosial yang sejatinya harus dibedakan. Perhatikan, demikian kuatnya penggunaan bahasa “cebong-kampret” di dunia maya yang terbawa nyata dalam kehidupan sehari-hari, hingga konflik masyarakat menjadi tak terelakkan. Sejatinya, bahasa sebagai alat komunikasi dikooptasi oleh berbagai kepentingan manusia yang berlangsung dari zaman ke zaman. Mereka yang berkuasa memperbudak bahasa untuk menyampaikan hasrat kekuasaannya. Bahasa menjadi instrumen paling efektif untuk memengaruhi masyarakat dalam berbagai bentuk citra diri (self image) dan jargon-jargon janji semu. Dalam politik kekuasaan, jargon janji semu bukan sebuah maksim bahasa yang mengikat penuturnya karena para politisi itu sedang memainkan panggung politik agar mereka mendapatkan kepercayaan. Kebohongan yang dikemas dalam bahasa politik menjadi keabsahan mereka dalam meyakinkan publik bahwa mereka menghendaki kekuasaan. Buku ini merekam bagaimana bahasa dihadapkan pada kekuasaan dan digunakan penguasa untuk merebut dan melanggengkan kekuasaannya. Merekam perjalanan bangsa ini sejak Orde Lama hingga kini. Selain itu, buku ini juga memberikan gambaran tabiat masing-masing rezim kekuasaan dengan menjadikan bahasa sebagai instrumen subordinat penting
Tidak tersedia versi lain