Text
Ragam qira`at dalam tafsir Maraah Labiid dan implikasinya terhadap penafsiran ayat-ayat relasi gender
Sebagai kitab suci yang memberi petunjuk kepada manusia, al-Qur'an harus dibaca dan difahami. Pemahaman al-Qur'an dan penafsiran seseorang terhadap al-Qur'an tentu terkait erat dengan penguasaannya terhadap ilmu qira'at (bacaan al-Qur'an), disamping ilmu-ilmu lain seperti bahasa Arab, sejarah al- Qur'an, ulum al-Qur'an, kaidah-kaidah tafsir dan ilmu-ilmu yang lain.
Qira'at al-Qur'an adalah suatu aliran yang dianut oleh salah satu imam madhhab dari beberapa imam madhhab tentang pengucapan lafad al-Qur'an. Perbedaan antara satu qira'at dengan qira'at yang lain bisa saja terjadi pada perbedaan huruf, bentuk kata, susunan kalimat, i'rab, penambahan, dan pengurangan kata. Perbedaan qira'at al-Qur'an yang berkaitan dengan subtansi lafad atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafad tersebut dan adakalanya tidak. Perbedaan-perbedaan ini sedikit banyaknya tentu membawa kepada perbedaan makna yang selanjutnya berpengaruh terhadap hukum yang diistimbatkan darinya.
Qira'at al-Qur'an banyak dipakai dalam beberapa literatur kitab tafsir sebagai instrumen penafsiran. Baik tafsir yang merupakan produk para ulama- ulama dari Timur Tengah maupun dari Nusantara (Indonesia). Sebut saja tafsir Marah Labid atau populer di Jawa dengan sebutan tafsir Munir yang disusun oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau telah mencantumkan ragam qira'at dalam tafsirnya berikut implikasi perbedaannya dalam berbagai aspek.
Pada kajian kali ini, penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Yakni dengan melihat ragam qira'at yang ditampilkan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab tafsirnya. Sekaligus melihat implikasi penafsirannya terkait dengan ayat-ayat relasi gender.
Dari kajian tersebut, penulis mendapatkan hasil penelitian yaitu, bahwa ragam qira'at yang dicantumkan Syekh Nawawi merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur'an. Penggunaan dalam tafsir Marah Labid tidak lepas dari penguasaan beliau terhadap ilmu qira'at. Jika dilihat dari teori klasifikasi qira'at, ragam qira'at yang terdapat dalam tafsir Marab Labid memiliki dua macam, yakni qira'at mutawatirah dan qira'at shadhdhah. Qira'at mutawatirah yang terdapat dalam tafsir Marah Labid meliputi qira at sab'ah dan qira'at 'ashrah. Sedangkan qira'at shadhdhah dalam tafsir tersebut pada umumnya disandarkan pada qira'at-nya Sahabat.
Implikasi perbedaan qira'at terkait ayat-ayat relasi gender dalam masalah jabat tangan antara laki-laki dengan perempuan adalah, perempuan boleh berjabat tangan dengan laki-laki bukan mahramnya dalam kondisi-kondisi tertentu, yakni (1) tidak karena syahwat, (2) dengan orang yang lanjut usia yang tidak bersyahwat lagi, atau (3) karena faktor penghormatan. Jika yang mengajak bersalaman tidak tersinggung atas sikapnya dan mengerti akan batas-batas agama, dianjurkan tidak bersalaman dalam rangka hati-hati.
Adapun tentang masalah karir perempuan di luar rumah, Islam tidak melarang. Apalagi dalam kondisi tertentu jika sang suami tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya pada keluarga dan anak, baik karena meninggal atau lepas tanggung jawab. Dalam keadaan ini, hukum bekerja bisa berubah dari mubah menjadi wajib.
Sedangkan dalam kasus pewarisan perempuan, al-Qur'an dengan tegas melarang praktek tersebut. Hal ini didasarkan tidak hanya pada pemaksaan perempuan saja, namun al-Qur'an juga menghargai serta mengangkat derajat kaum wanita yang statusnya dimasa jahiliyah seperti halnya barang dagangan.
Tidak tersedia versi lain